Sabtu, 13 Juni 2015

Proses Pembangunan Candi Berdasarkan Ilmu Astronomi

 

Hampir semua candi di Indonesia dibangun dengan orientasi arah hadap Timur dan Barat.
Candi-candi yang pintu masuknya berada di sisi Timur, umumnya berlokasi di Jawa Tengah dan Yogyakarta, dikenal sebagai langgam Jawa Tengah. Sementara candi-candi yang pintu masuknya berada di sisi Barat, umumnya berlokasi di Jawa Timur dan luar Jawa, dikenal sebagai langgam Jawa Timur.
Mengapa candi-candi itu berorientasi ke Timur dan Barat, tentulah disesuaikan dengan falsafah masyarakat waktu itu. Kemungkinan besar, hal itu didasarkan atas terbit dan terbenamnya matahari. Matahari yang dianggap sebagai “penguasa” kosmos, memang terbit di Timur dan terbenam di Barat.
Seberapa jauh hubungan pembangunan candi dengan konsep astronomi, pernah diteliti oleh seorang arkeolog Indonesia, Eadhiey Laksito Hapsoro (1986). Penelitian yang dilakukan Eadhiey didasarkan atas perhitungan gerak bulan dan matahari. Tujuannya adalah untuk mengetahui kronologi candi, lebih tepatnya masa pendirian sebuah candi.
Banyak candi di Indonesia memang belum memiliki tarikh. Kalaupun ada, biasanya dihubungkan dengan peresmiannya, bukan dengan masa awal pembangunannya. Sejumlah candi diperkirakan mempunyai kaitan dengan prasasti, terutama prasasti yang ditemukan di dekat lokasi candi.
Dalam penelitiannya itu, Eadhiey mengambil contoh enam buah candi di Jawa Tengah, yaitu Candi Gunung Wukir (dihubungkan dengan prasasti Canggal, bertarikh 732 Masehi), Candi Kalasan (Kalasan, 778), Candi Sewu (Kelurak, 782), Candi Pawon (Karangtengah atau Kayumwungan, 824), Candi Prambanan (Siwagerha, 856), dan Candi Mendut (Karangtengah atau Kayumwungan, 824).

Astronomi

Candi adalah bangunan suci agama Hindu dan Buddha yang sangat dipengaruhi kebudayaan India. Karena itu konsep-konsep yang digunakan untuk membangun candi juga berpatokan pada kitab-kitab kuno India, di antaranya Manasara. Salah satu aturan yang tidak boleh dilanggar adalah candi harus diorientasikan ke matahari, khususnya saat bersatunya dengan bulan. Jadi bukan saat bulan mati, yakni ketika bulan tidak terlihat dari bumi. Menurut filosofi kuno, pertautan matahari dengan bulan melambangkan saat terciptanya alam semesta.
Berbagai penelitian di Indonesia sejak 1920-an hingga 1950-an menyimpulkan bahwa candi-candi dibangun secara garis besar sesuai dengan ketentuan kitab Manasara. Sekaligus hal itu menunjukkan bahwa pembuatan candi memang dilakukan berdasarkan konsep astronomi.
Berdasarkan data Gerak Rotasi, Gerak Revolusi, dan Gerak Inklinasi yang dilakukan bumi dan bulan terhadap matahari, maka menurut Eadhiey, “Bila setiap candi di Jawa dibangun berdasarkan orientasi ke matahari, secara teoretis bisa diselidiki tanggal pendiriannya lewat penentuan posisi matahari yang sesuai dengan arah hadap candi itu”.
Untuk keperluan itu, Eadhiey membuat tabel yang berisi keterangan tentang posisi matahari setiap jam setiap hari selama ratusan tahun. Karena enam candi yang diteliti berasal dari masa tahun 732 hingga 856, maka tabel kalender astronominya dibatasi tahun 700 hingga 860.
Data yang dikumpulkan berupa letak Lintang dan Bujur, arah hadap, azimut candi, azimut matahari, dan tinggi matahari dari masing-masing candi. Setelah itu data diproses melalui program komputer. Hasilnya berupa tanggal, bulan, dan tahun yang dapat dianggap sebagai saat awal pembangunan candi. Ternyata data yang keluar lebih dari satu, kecuali Candi Mendut yang tidak keluar karena tidak berorientasi ke matahari (lihat tabel, hanya disajikan tahunnya).
Secara logika, memang hasil penghitungan Eadhiey masuk akal. Tarikh yang keluar adalah jauh sebelum tanggal tarikh prasasti. Sekarang yang menjadi masalah, bilamanakah candi-candi itu mulai dibangun? Taruhlah Candi Gunung Wukir, apakah candi itu dibangun tahun 719 atau 726 sebagaimana hasil tadi?
Kalau mendasarkan pada perhitungan tersebut, tergambar Candi Gunung Wukir dibangun selama 6-13 tahun, Candi Kalasan selama 12-20 tahun, Candi Sewu selama 1-34 tahun, Candi Pawon selama 34-56 tahun, dan Candi Prambanan selama 18-51 tahun. Dari kemungkinan tersebut, hanya Candi Pawon yang dirasa agak janggal karena bentuk candinya kecil. Tentu terlalu lama kalau untuk membangun candi kecil saja membutuhkan waktu puluhan tahun.
Ataukah memang Candi Pawon dibangun dan dirombak berkali-kali karena si pemilik kurang sreg dengan bangunan yang sudah ada? Persoalan lainnya adalah mungkinkah pekerja di Candi Pawon hanya berjumlah sedikit sehingga memerlukan waktu begitu lama? Kita patut mempertanyakan pula, apakah prasasti yang digunakan benar-benar berhubungan dengan candi tersebut?
Sebenarnya, teka-teki serupa pernah terjadi pada piramida di Mesir. Pada tahun 300 sejarawan Yunani, Herodotus, menyatakan bahwa pembangunan piramida membutuhkan 100.000 budak. Kemudian sebuah percobaan dilakukan pada 1970-an oleh ilmuwan-ilmuwan Barat untuk membuktikan teori Herodotus itu. Dengan memakai teknik dan peralatan pada masa itu, seperti yang digambarkan pada ukiran di dinding piramida, mereka melakukan kalkulasi bahwa pembangunan piramida hanya memerlukan 40.000 pekerja dalam waktu 10 tahun (Arkeologi, Paul Deveruex, hal. 25). Cara perhitungannya antara lain menghitung jumlah batu, menimbang berat batu, dan menghitung luas piramida.
Tentunya, dengan memperbandingkan candi dengan piramida, maka kita akan mengetahui berapa banyak pekerja candi dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu candi. Sebaiknya, uji coba seperti itu bisa dilakukan di Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar