Bagaimana Borobudur, candi Buddha terbesar di dunia itu, memiliki jejak astronomis?
Kemegahan
Candi Borobudur tidak hanya menunjukkan kemampuan rancang bangun nenek
moyang bangsa Indonesia yang mengagumkan. Penempatan stupa terawang
maupun relief di dinding Borobudur ternyata menunjukkan penguasaan
mereka terhadap ilmu perbintangan alias astronomi.
Kita dapat menilik aspek astronomi Borobudur misalnya melalui penelitian yang dilakukan Tim Arkeoastronomi Borobudur, Institut Teknologi Bandung.
Penelitian tersebut menunjukkan, stupa utama pada candi Buddha terbesar di dunia itu berfungsi sebagai gnomon (alat penanda waktu)
yang memanfaatkan bayangan sinar Matahari. Stupa utama yang merupakan
stupa terbesar terletak di pusat candi di tingkat 10 (tertinggi).
Stupa
utama dikelilingi 72 stupa terawang yang membentuk lintasan lingkaran
di tingkat 7, 8, dan 9. Bentuk dasar ketiga tingkat itu plus tingkat 10
adalah lingkaran, bukan persegi empat sama sisi seperti bentuk dasar
pada tingkat 1 hingga tingkat 6.
Jumlah stupa terawang pada
tingkat 7, 8 dan 9 secara berurutan adalah 32 stupa, 24 stupa, dan 16
stupa. Jarak antarstupa diketahui tidak persis sama. Pengaturan jumlah
dan jarak antarstupa diduga memiliki tujuan atau makna tertentu.
Menurut
Ketua Tim Arkeoastronomi ITB Irma Indriana Hariawang, jatuhnya bayangan
stupa utama pada puncak stupa terawang tertentu pada tingkatan tertentu
menunjukkan awal musim atau mangsa tertentu sesuai Pránatamangsa
(sistem perhitungan musim Jawa.
Sebelum korelasi antara bayangan
stupa utama dan stupa terawang diketahui, tim terlebih dahulu menentukan
bayangan lurus stupa utama saat Matahari berada di garis khatulistiwa.
Pada saat itu Matahari terbit tepat di titik timur garis dan terbenam
tepat di titik barat garis.
Hasil ini menunjukkan posisi Borobudur
sesuai arah mata angin. Arah utara-selatan menunjuk posisi kutub utara
Bumi dan kutub selatan Bumi, bukan utara-selatan kutub magnet Bumi.
Posisi itu ditentukan tanpa bantuan alat penentu posisi global (GPS).
Dosen
Astronomi ITB yang juga anggota Tim Arkeoastronomi Borobudur ITB, Ferry
M Simatupang, mengatakan, sekitar tahun 800 M, saat Borobudur dibangun,
nenek moyang bangsa Indonesia mampu menentukan arah utara-selatan benar
menggunakan bayangan Matahari.
Cara paling sederhana menentukan
arah utara-selatan benar adalah menandai bayang-bayang gnomon pada
lingkaran simetris. Jika bayang-bayang gnomon pada dua sisi lingkaran
yang berseberangan dihubungkan, menunjukkan arah timur-barat benar.
Garis yang tegak lurus dengan garis timur-barat benar adalah garis
utara-selatan benar.
“Fakta bayangan stupa utama Borobudur sebagai
penanda awal musim dalam Pránatamangsa baru temuan awal, masih banyak
penelitian lanjutan yang harus dilakukan,” katanya.
Menurut
Simatupang, tim meneliti hubungan bayangan stupa utama dengan stupa
terawang dalam tiga dimensi. Hasil ini menajamkan garis awal musim yang
sudah diperoleh dari citra dua dimensi.
Penelitian yang
dimuat dalam prosiding 7th International Conference on Oriental
Astronomy di Tokyo, Jepang, pada September 2010 ini juga berencana melihat
apakah posisi stupa atau bayangan stupa memiliki hubungan dengan
prediksi gerhana Matahari atau gerhana Bulan. Konfigurasi situs
megalitik umumnya memiliki kaitan dengan penentuan waktu, baik kalender
maupun prediksi gerhana.
Namun, penelitian ini tidak mudah.
Penelitian arkaeoastronomi masih baru di Indonesia. Aspek astronomis
dalam candi Buddha juga sangat jarang ditemukan. Ahli dan literatur yang
ada pun terbatas. Kerja sama antara astronom dan arkeolog perlu
dilakukan untuk lebih memperlancar penelitian.
Pengetahuan astronomi
Sejumlah
relief di Candi Borobudur juga menunjukkan kemampuan nenek moyang
bangsa Indonesia dalam penguasaan ilmu perbintangan. Hal itu, menurut
Irma, salah satunya ditunjukkan dengan gambar perahu-perahu pelaut
berbagai ukuran di dinding candi.
Gambar perahu itu menunjukkan mereka adalah
bangsa pelaut. Untuk mampu mengarungi lautan, dibutuhkan kemampuan
navigasi yang panduan utamanya bintang-bintang di langit.
Salah
satu bintang yang menjadi penunjuk arah adalah Bintang Polaris, yaitu
bintang yang terletak tepat di atas kutub utara Bumi hingga disebut
sebagai Bintang Utara.
Polaris menjadi acuan arah utara
bangsa-bangsa di belahan Bumi utara. Nama bintang ini banyak disebut
dalam sejumlah manuskrip umat Buddha.
Sebelum tahun 800, Polaris
dapat dilihat dari Nusantara di sekitar Borobudur. Bintang terang ini
mudah diamati karena hanya bergerak di sekitar ufuk langit. Namun, sejak
tahun 800 hingga kini, posisi Polaris semakin di bawah horison akibat
gerak presesi (gerak Bumi pada sumbunya sambil beredar mengelilingi
Matahari), sehingga Bintang Utara tidak mungkin lagi dilihat dari
Nusantara.
Karena Polaris tak bisa diamati, pelaut mencari bintang
penanda utara lain, yaitu rasi Ursa Mayor (Beruang Besar). Jika dua
bintang paling terang dalam rasi ini, yaitu Dubhe dan Merak, ditarik
garis lurus, akan mengarah ke Polaris. Hal ini membuat Ursa Mayor
menjadi penanda arah utara lain.
Pentingnya rasi Ursa Mayor bagi
masyarakat saat itu ditunjukkan oleh gambar relief bulatan-bulatan kecil
pada tingkat ke-4 Borobudur di sisi utara. Tujuh bulatan kecil itu
diapit oleh lingkaran besar yang diduga Matahari dan bulan sabit yang
dipastikan simbol bulan.
Dari Bumi, Ursa Mayor terlihat sebagai tujuh bintang terang. Nama Dubhe dan Merak berasal dari bahasa Arab. Dubhe dari frasa thahr al dubb al akbar (punggung beruang besar), sedangkan Merak dari kata al marakk yang artinya pinggang— karena posisi di pinggang beruang.
Irma
menambahkan, selain Ursa Mayor, tujuh bulatan itu diduga sebagai
Pleiades (Tujuh Bidadari). Masyarakat Jawa mengenal kluster bintang
terbuka ini sebagai Lintang Kartika. Nama ini berasal dari bahasa
Sansekerta krttikã yang menunjuk kluster bintang yang sama.
Kluster (kumpulan) bintang ini populer di Jawa karena kemunculannya menjadi penanda dimulainya waktu tanam.
Dugaan
tujuh bulatan itu adalah Pleiades muncul karena hampir semua bangsa
memiliki kesan mendalam dengan kluster bintang ini. Bangsa Jepang
menyebutnya sebagai Subaru, sedangkan masyarakat Timur Tengah menamainya
Thuraya.
Namun, jika diamati dari Borobudur, posisi Tujuh
Bidadari ini di dekat arah timur benar saat terbit dan di dekat arah
barat benar saat terbenam. Posisi kluster ini tidak cocok dengan letak
tujuh bulatan di dinding utara Borobudur.
0 komentar:
Posting Komentar