Selasa, 09 Juni 2015

Stupa Borobudur : SI Penanda Waktu

Stupa Borobudur Difungsikan sebagai Penanda Waktu 

Bagaimana Borobudur, candi Buddha terbesar di dunia itu, memiliki jejak astronomis?

Kemegahan Candi Borobudur tidak hanya menunjukkan kemampuan rancang bangun nenek moyang bangsa Indonesia yang mengagumkan. Penempatan stupa terawang maupun relief di dinding Borobudur ternyata menunjukkan penguasaan mereka terhadap ilmu perbintangan alias astronomi.
Kita dapat menilik aspek astronomi Borobudur misalnya melalui penelitian yang dilakukan Tim Arkeoastronomi Borobudur, Institut Teknologi Bandung.
Penelitian tersebut menunjukkan, stupa utama pada candi Buddha terbesar di dunia itu berfungsi sebagai gnomon (alat penanda waktu) yang memanfaatkan bayangan sinar Matahari. Stupa utama yang merupakan stupa terbesar terletak di pusat candi di tingkat 10 (tertinggi).
Stupa utama dikelilingi 72 stupa terawang yang membentuk lintasan lingkaran di tingkat 7, 8, dan 9. Bentuk dasar ketiga tingkat itu plus tingkat 10 adalah lingkaran, bukan persegi empat sama sisi seperti bentuk dasar pada tingkat 1 hingga tingkat 6.
Jumlah stupa terawang pada tingkat 7, 8 dan 9 secara berurutan adalah 32 stupa, 24 stupa, dan 16 stupa. Jarak antarstupa diketahui tidak persis sama. Pengaturan jumlah dan jarak antarstupa diduga memiliki tujuan atau makna tertentu.
Menurut Ketua Tim Arkeoastronomi ITB Irma Indriana Hariawang, jatuhnya bayangan stupa utama pada puncak stupa terawang tertentu pada tingkatan tertentu menunjukkan awal musim atau mangsa tertentu sesuai Pránatamangsa (sistem perhitungan musim Jawa.
Sebelum korelasi antara bayangan stupa utama dan stupa terawang diketahui, tim terlebih dahulu menentukan bayangan lurus stupa utama saat Matahari berada di garis khatulistiwa. Pada saat itu Matahari terbit tepat di titik timur garis dan terbenam tepat di titik barat garis.
Hasil ini menunjukkan posisi Borobudur sesuai arah mata angin. Arah utara-selatan menunjuk posisi kutub utara Bumi dan kutub selatan Bumi, bukan utara-selatan kutub magnet Bumi. Posisi itu ditentukan tanpa bantuan alat penentu posisi global (GPS).
Dosen Astronomi ITB yang juga anggota Tim Arkeoastronomi Borobudur ITB, Ferry M Simatupang, mengatakan, sekitar tahun 800 M, saat Borobudur dibangun, nenek moyang bangsa Indonesia mampu menentukan arah utara-selatan benar menggunakan bayangan Matahari.
Cara paling sederhana menentukan arah utara-selatan benar adalah menandai bayang-bayang gnomon pada lingkaran simetris. Jika bayang-bayang gnomon pada dua sisi lingkaran yang berseberangan dihubungkan, menunjukkan arah timur-barat benar. Garis yang tegak lurus dengan garis timur-barat benar adalah garis utara-selatan benar.
“Fakta bayangan stupa utama Borobudur sebagai penanda awal musim dalam Pránatamangsa baru temuan awal, masih banyak penelitian lanjutan yang harus dilakukan,” katanya.
Menurut Simatupang, tim meneliti hubungan bayangan stupa utama dengan stupa terawang dalam tiga dimensi. Hasil ini menajamkan garis awal musim yang sudah diperoleh dari citra dua dimensi. 
Penelitian yang dimuat dalam prosiding 7th International Conference on Oriental Astronomy di Tokyo, Jepang, pada September 2010 ini juga berencana melihat apakah posisi stupa atau bayangan stupa memiliki hubungan dengan prediksi gerhana Matahari atau gerhana Bulan. Konfigurasi situs megalitik umumnya memiliki kaitan dengan penentuan waktu, baik kalender maupun prediksi gerhana.
Namun, penelitian ini tidak mudah. Penelitian arkaeoastronomi masih baru di Indonesia. Aspek astronomis dalam candi Buddha juga sangat jarang ditemukan. Ahli dan literatur yang ada pun terbatas. Kerja sama antara astronom dan arkeolog perlu dilakukan untuk lebih memperlancar penelitian.

Pengetahuan astronomi
Sejumlah relief di Candi Borobudur juga menunjukkan kemampuan nenek moyang bangsa Indonesia dalam penguasaan ilmu perbintangan. Hal itu, menurut Irma, salah satunya ditunjukkan dengan gambar perahu-perahu pelaut berbagai ukuran di dinding candi.

borobudur,relief,indonesiaSelamat dari Ancaman Monster Laut. Salah satu panil relief Jataka di Borobudur menunjukkan para penumpang kapal yang diselamatkan oleh penyu laut jelmaan Bodhisattwa. Jataka merupakan kisah peristiwa dan perbuatan Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. (Mahandis Y.Thamrin)
Gambar perahu itu menunjukkan mereka adalah bangsa pelaut. Untuk mampu mengarungi lautan, dibutuhkan kemampuan navigasi yang panduan utamanya bintang-bintang di langit.
Salah satu bintang yang menjadi penunjuk arah adalah Bintang Polaris, yaitu bintang yang terletak tepat di atas kutub utara Bumi hingga disebut sebagai Bintang Utara.
Polaris menjadi acuan arah utara bangsa-bangsa di belahan Bumi utara. Nama bintang ini banyak disebut dalam sejumlah manuskrip umat Buddha.
Sebelum tahun 800, Polaris dapat dilihat dari Nusantara di sekitar Borobudur. Bintang terang ini mudah diamati karena hanya bergerak di sekitar ufuk langit. Namun, sejak tahun 800 hingga kini, posisi Polaris semakin di bawah horison akibat gerak presesi (gerak Bumi pada sumbunya sambil beredar mengelilingi Matahari), sehingga Bintang Utara tidak mungkin lagi dilihat dari Nusantara.
Karena Polaris tak bisa diamati, pelaut mencari bintang penanda utara lain, yaitu rasi Ursa Mayor (Beruang Besar). Jika dua bintang paling terang dalam rasi ini, yaitu Dubhe dan Merak, ditarik garis lurus, akan mengarah ke Polaris. Hal ini membuat Ursa Mayor menjadi penanda arah utara lain.
Pentingnya rasi Ursa Mayor bagi masyarakat saat itu ditunjukkan oleh gambar relief bulatan-bulatan kecil pada tingkat ke-4 Borobudur di sisi utara. Tujuh bulatan kecil itu diapit oleh lingkaran besar yang diduga Matahari dan bulan sabit yang dipastikan simbol bulan.
Dari Bumi, Ursa Mayor terlihat sebagai tujuh bintang terang. Nama Dubhe dan Merak berasal dari bahasa Arab. Dubhe dari frasa thahr al dubb al akbar (punggung beruang besar), sedangkan Merak dari kata al marakk yang artinya pinggang— karena posisi di pinggang beruang.
Irma menambahkan, selain Ursa Mayor, tujuh bulatan itu diduga sebagai Pleiades (Tujuh Bidadari). Masyarakat Jawa mengenal kluster bintang terbuka ini sebagai Lintang Kartika. Nama ini berasal dari bahasa Sansekerta krttikã yang menunjuk kluster bintang yang sama.
Kluster (kumpulan) bintang ini populer di Jawa karena kemunculannya menjadi penanda dimulainya waktu tanam.
Dugaan tujuh bulatan itu adalah Pleiades muncul karena hampir semua bangsa memiliki kesan mendalam dengan kluster bintang ini. Bangsa Jepang menyebutnya sebagai Subaru, sedangkan masyarakat Timur Tengah menamainya Thuraya.
Namun, jika diamati dari Borobudur, posisi Tujuh Bidadari ini di dekat arah timur benar saat terbit dan di dekat arah barat benar saat terbenam. Posisi kluster ini tidak cocok dengan letak tujuh bulatan di dinding utara Borobudur.

0 komentar:

Posting Komentar