Bagaimana mempelajari langit di dalam ilmu astronomi? Tentunya dengan memandangi langit dan mempelajari apa yang tampak di sana. Dari awal peradaban, jauh sebelum ditemukan adanya teleskop, mata adalah alat utama untuk mengidentifikasi, mempelajari, dan memahami benda-benda yang ada di langit. Dengan ditemukannya teleskop, maka pembelajaran tentang langit semakin mendalam dan semakin mendalam lagi, sehingga manusia bisa mendapatkan informasi yang lebih baik lagi.
Pengamatan langit dimulai dari Galileo yang mempelajari bahwa ternyata ada benda-benda yang mengikuti Jupiter, yang dikenal sebagai bulan-bulan Jupiter; adanya bintik-bintik di Matahari, dan banyak lagi hal-hal lain. Setelah ada teleskop, penemuan benda-benda yang awalnya tidak dapat dilihat oleh mata menjadi semakin banyak. Karena itu, teleskop bisa dikatakan sebagai suatu revolusi dalam astronomi.
Teleskop sebetulnya hanyalah alat bantu, karena prinsip kerja teleskop itu sebetulnya membantu mata bekerja dalam mengumpulkan cahaya!
Semakin banyak cahaya terkumpul, semakin redup objek yang bisa tertangkap dan semakin detail citra yang teramati. Oleh karena itu, dengan semakin berkembangnya teknologi, maka semakin banyak upaya untuk mengembangkan teleskop yang bisa mengumpulkan cahaya, untuk bisa mengamati obyek yang saat ini belum teramati. Bagaimana caranya mengumpulkan cahaya? Tentu saja dengan ‘membuka mata’ teleskop semakin lebar dan semakin lebar supaya semakin banyak cahaya yang masuk.
Tidak lama lagi, akan banyak dioperasikan Teleskop Yang Sangat Besar (Extremely Large Telescope/ELT); yang sudah mampu berfungsi untuk menjawab keingintahuan manusia akan alam semesta kita.
Misteri Alam Semesta
Sebetulnya, apa yang hendak dicari oleh astronom dengan teleskop yang semakin canggih dan semakin canggih? Banyak hal yang dicari oleh astronom di dalam alam semesta, sebut saja:
- Planet-planet batuan serupa Bumi, yang mengindikasikan adanya air dan oksigen di dalamnya.
- Mendeteksi supernova alam semesta awal untuk menjadi pengukur kapan dan bagaimana bintang-bintang yang paling awal ada dan terbentuk.
- Mengembangkan teori yang bisa diuji dari keberadaan “energi gelap”.
- Mempelajari bintang-bintang di galaksi lain untuk memahami bagaimana bintang-bintang tersebut terbentuk.
- Memetakan dinamika spektrum merah-infra tinggi dari berbagai galaksi dalam halo materi-gelap untuk mempelajari struktur dan perilaku alamiahnya.
Tetapi, teleskop pun bukan tanpa keterbatasan. Semua teleskop dibatasi oleh kejernihan citra, atau resolusi optis yang bergantung pada seberapa besar diameter bukaan teleskop. Oleh karena itu, para astronom selalu berupaya membuat teleskop yang “mata”-nya semakin lebar dan semakin lebar sehingga semakin dapat memperjelas citra dan mendapatkan obyek yang lebih redup dan lebih redup. Maka, teknologi terkini juga menerapkan Adaptive-Optics (AO) yang memungkinkan untuk membuat citra menjadi lebih tajam dengan mengatasi turbulensi atmosfer, yang sebelumnya membuat bintang tampak berkelip-kelip.
Dan teleskop sejenis tersebut akan lebih mudah dibangun di permukaan Bumi, alih-alih mengirimkan teleskop ke luar angkasa seperti Hubble Space Telescope. Nah, mari kita lihat “godzilla-godzilla” teleskop yang akan segera hadir untuk mengamati langit.
Awas Godzilla-nya Teleskop!
Yang pertama, Giant Magellan Telescope (GMT), alias Teleskop Raksasa Magellan. Yang namanya raksasa, pastilah seperti itu adanya. Teleskop ini mempunyai cermin sebanyak 7 buah, seukuran 8,4 meter! Lensa gelas yang akan dipasang ini dibuat oleh Laboratorium Cermin milik Observatorium Steward di Universitas Arizona. Bukaannya sebesar 24,5 meter, tersusun dari 7 cermin seukuran 8,4 meter, seharga US$ 625 juta, yang didanai oleh banyak institut di amerika. Detilnya bisa dilihat dari www.gmto.org.
Ketika ketujuh cermin tersebut tergabung menjadi satu cermin utama, maka GMT mempunyai kekuatan untuk dapat mengumpulkan cahaya lebih banyak dibanding teleskop pendahulunya, dengan bukaan sebesar 6,5 meter, yaitu Teleskop Walter Baade dan Landon Clay di Observatorium Las Campanas di Chili. Dengan begitu, ia bisa mendeteksi obyek yang lebih redup, 130 kali lebih cepat, menggunakan teknologi AO yang terkini.
GMT juga akan dipasang di Chili, sekitar tahun 2010-2016. Elemen yang mengoreksi, termasuk cermin kedua yang tersegmen dan fleksibel akan mengecilkan pengaruh aberasi sferis dan kaburnya gambar akibat pergerakan atmosfer. Dengan kuda-kuda yang kokoh untuk menahan angin gunung yang kencang, disertai perangkat lunak pengendali teleskop secara menyeluruh, maka raksasa ini secara radikal ditunjang oleh teknologi terkini dengan sistem mekanis yang besarnya tidak tanggung-tanggung.
Yang kedua, Thirty Meter Telescope (TMT), alias Teleskop Tiga Puluh Meter, yang tersusun dari 492 segmen, seukuran lebar mata 30 meter untuk memandangi alam semesta, akan hadir pada pertengahan dekade mendatang. Teleskop ini dirancang untuk mengumpulkan cahaya sampai sembilan kali lebih banyak dibandingkan dengan yang sekarang, berukuran 10 meter Keck. Teleskop ini dapat menangkap objek yang 10 kali lebih redup dengan resolusi spasial (ruang) tiga kali lebih baik. Beberapa insinyur yang membangun Keck juga bekerja pada proyek ini juga menggabungkan tiga konsep sebelumnya: California ELT, Teleskop Cermin Raksasa dengan cermin yang tersegmentasi milik NOAO (National Optical Astronomy Observatory’s) dan Teleskop Optis Sangat Besar milik Kanada.
Tujuan utama teleskop ini adalah untuk menembus horizon yang sangat jauh dengan presisi yang sangat-sangat baik, di daerah panjang gelombang dekat inframerah. Raksasa yang tersusun dari matriks-matriks cermin kecil tipis serupa Keck ini dirancang sedemikian rupa, sehingga dengan eksposure yang cukup menggunakan AO, akan memberikan resolusi spasial sepuluh kali dari Hubble!
Cermin utama TMT dengan f/1 dilengkapi dengan cermin sekunder Gregorian yang cembung secara aktif (bisa berubah bentuk) mengoreksi aberasi yang sangat kecil akibat cermin yang melengkung. Cermin ketiga dipergunakan untuk mengarahkan pancaran cahaya yang terkoreksi supaya berkesesuaian dengan posisi instrumen di dudukan yang stabil sepanjang sumbu lintang struktur raksasa tersebut. Teleskop ini dibangun dengan biaya mencapai US$1 milyar, dan bisa dilihat di www.tmt.org.
Yang paling akhir adalah European Extremely Large Telescope (E-ELT). Teleskop ini memiliki cermin yang super-super raksasa seukuran 42 meter, tersusun dari 906 segmen heksagonal. Konsepnya merupakan kombinasi dari kontribusi lebih dari 100 astronom di ESO (European Southern Observatory), dan merupakan turunan dari konsep sebelumnya, dengan elemen dasar yang merupakan 100 meter OWL (OverWhelmingly Large) dan proyek Euro50 telescope.
Cermin-cermin lain pada jalur cahaya E-ELT akan diperbesar. Cermin kedua seukuran 6 meter itu merupakan cermin yang terbesar pada cermin-cermin utama saat ini. Cermin ketiga seukuran 4,2 meter akan menyalurkan kembali pancaran cahaya melalui sistem AO yang juga menyertakan cermin aktif 2,5 meter (memiliki 5000 actuator yang mengubah-ubah bentuk 1000 kali per detik), dan cermin lain seukuran 2,7 meter sebagai koreksi tingkat akhir.
Situs tempat mata monster ini dipasang akan ditentukan di akhir tahun 2008 (juga untuk TMT), dan “test pertama” akan dilakukan tahun 2017. Ketika terpasang di tempat yang tinggi dan kering, E-ELT akan menganga dan melahap foton jauh lebih banyak dari godzilla-godzilla lain yang pernah ada. Teleskop ini membutuhkan anggaran mencapai US$1,2 milyar dan bisa dilihat di www.eso-org/public/astronomy/project/e-elt.
Melongok Ke Halaman Rumah Sendiri
Tentu saja proyek dengan anggaran yang membumbung tinggi ke langit tersebut sulit dipenuhi oleh grup-grup yang sendirian, sehingga pembangunannya merupakan kongsi atau gabungan dari berbagai grup. Tetapi, bukan berarti teleskop-teleskop seukuran gajah tidak bisa dimiliki oleh grup-grup tersendiri, atau oleh suatu negara. Bagaimana dengan Indonesia? Di Observatorium Bosscha masih dapat ditemukan teleskop-teleskop berukuran besar, walaupun bukanlah godzilla, tetapi ukurannya yang sebesar gajah merupakan aset astronomi di Indonesia yang tidak terkira. Sebut saja refraktor ganda Zeiss yang menjadi maskot Observatorium Bosscha, atau refraktor Schmidt Bima-Sakti yang merupakan teleskop dengan mata terbesar di kompleks, berdiameter sekitar 60 cm. Tetapi, untuk wilayah Asia-Tenggara, Indonesia harus bersiap-siap tertinggal dalam pengembangan observatorium. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena beroperasinya Observatorium Nasional Langkawi yang bersistem robotik dengan diameter teleskop 50 cm. Ironisnya, yang membangun observatorium itu adalah putra Indonesia kelahiran Bandung (Mohamad Ridwan Hidayat, M.Sc). Thailand pun sudah tancap gas denga pembangunan teleskop seukuran 2,4 meter! Teleskop berbiaya US$ 40 juta ini merupakan kado ulang tahun ke-80 Raja Thailand, Raja Bhumibol. Teleskop ini diharapkan akan membuka matanya untuk pertama kali di bulan Maret tahun 2009.
Ketika negara-negara tetangga sedang bergiat untuk membuka mata mereka lebar-lebar ke langit dan mengagumi keindahan karya Sang Pencipta, lalu bagaimana dengan Indonesia?
0 komentar:
Posting Komentar